Banda Aceh – Berbagai dalil di dalam Al Qur’an maupun hadist dan kita-kitab sebagaimana diuraikan oleh ulama karismatik Aceh Abu Mudi Samalanga semakin mempertegas bahwa kepemimpinan perempuan di dalam Islam haram hukumnya.
Ulama karismatik Aceh, Syeikh Tgk H. Hasanul Basri (Abu Mudi) telah menegaskan dalam penjelasannya bahwa : “Ureung Agam yang mengurus ureung inong (lelaki yang memimpin perempuan), “Arrijalun kawwamuna ‘alannisa’. Itu jelas-jelas merupakan ayat Al Qur’an. Bahkan sebagaimana dijelaskan Abu Mudi sebagai ulama yang harus kita pedoman bahwa juga ditulis di dalam kitab, syarat menjadi pemimpin adalah lelaki yang merdeka, berakal, sehat badan dan segalanya. Jadi, jangan sampai karena keinginan dan hasrat kekuasaan.
Abu Mudi juga sudah menerangkan seorang perempuan yang maju sebagai pemimpin(kepala daerah) saja itu sudah berbuat dosa. “Ureung inong meunyoe kageucalon ka dipeubeut desya. Perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin ka ijak peubeut desya, karena dipeubeut beut yang han sah dikerjakan. Dipileh cit le ureung nyan ureung pilih pi salah, dosa. Dilantik, ureung lantik desya. Setelah dilantik sah dia sudah jadi pemimpin, inan lom yang masalah (perempuan kalau mencalonkan diri sebagai pemimpin sudah berbuat dosa, karena perbuatan yang dilakukan tidak sah dalam hukum agama. Dipilih juga oleh orang yang memilih juga ikut melakukan kesalahan, dosa. Dilantik, orang yang melantik ikut berdosa. Setelah dilantik dan sah jadi pemimpin, itu lebih bermaslah lagi)”.
“Terlepas dari opini dan berbagai alasan yang disampaikan segelintir orang untuk membenarkan Bunda Illiza Saaduddin Djamal bisa menjadi Walikota Banda Aceh, namun penegasan yang disampaikan oleh karismatik Aceh Abu Mudi tetap menjadi pegangan kita sebagai ummat muslim di negeri syariat Islam ini. Untuk itu, agar menghindari orang lain agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang dalam islam maka kami minta Bunda Illiza tidak memaksa kehendak maju sebagai Walikota ataupun Gubernur Aceh,” ungkap Ketua Forum Aceh Bersatu (FAB), Saiful Mulki AK, Senin 1 Juli 2024.
Alasan yang digunakan selama ini dengan mengutarakan sejarah adanya raja atau Sultan pada kerajaan Aceh juga tak sesuai dengan kondisi saat ini. “Memang ada pemimpinan kerajaan di Aceh saat itu sedang darurat karena perang bergejolak dan kekosongan kepemimpinan. Jika di masa kerajaan diharuskan garis keturunan yang mengisi kepemimpinan, sehingga seorang raja yang wafat dalam perang misalkan ketika tidak ada anak laki-lakinya bisa saja diganti oleh putrinya karena misalkan sang raja wafat ketika perang dan sebagainya. Sementara saat ini bukan lagi zaman kerajaan, jadi tidak ada alasan bagi seorang perempuan melanggar ayat Al-Qur’an karena ingin meraih kekuasaan,” jelas Saiful.
Berikutnya, kata Saiful, dalil tentang Kepemimpinan Perempuan yang dijelaskan ustadz Abdul Somad yang selama ini dijadikan tameng untuk memperbolehkan perempuan juga pada dasarnya harus didengar secara mendalam tentang kisah yang disampaikan UAS menjelaskan terkait cerita Khalifah Umar bin Khotab mengangkat Ummu Syifa’ sebagai wilayatul hisbah kota Madinah yang mengawasi kota, pasar dan lain-lain, yang dimaksud bukanlah pemimpin mutlak. “Misalkan seorang Bunda Illiza diamanahkan untuk menjadi kepala Wilayatul Hisbah atau kepala pengelola pasar. Itu masih sah dan dibolehkan, karena bukanlah pemimpin mutlak. Memang saat ini kita bukan lagi zaman khalifah, namun di Aceh sebagai daerah syariat Islam hendaknya tetap menjunjung tinggi apa yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, hadist, kitab-kitab bahkan penegasan ulama kita Abu Mudi yang seharusnya kita dengar secara seksama,” ujarnya.
– Penegakan Syariat Islam masa Illiza juga Tak Begitu Baik
Selain alasan-alasan di atas, alasan lainnya yang dikemukakan oleh pendukungnya adalah demi penegakan syariat islam, padahal nyatanya penegakan syariat islam dimasa Illiza pernah memimpin juga tidak begitu baik.
“Pada masa Illiza saat itu pelanggaran syariat Islam mencapai 200 lebih kasus, sementara sekarang sudah dibawah 70 kasus. Itu baru bicara persoalan penegakan syari’at, belum lagi bicara pengangguran kemiskinan dan sebagainya,” katanya.
Menurut Saiful, bagaimana mungkin seorang perempuan yang notabenenya tidak dibenarkan memimpin dalam islam akan maksimal menegakkan syariat Islam.
“Masih erat diingatan Masyarakat Banda Aceh tentang kasus penangkapan seorang PNS yang juga ajudan Wali Kota Banda Aceh berinisial AF yang ditangkap karena dugaan bermesum dengan seorang mahasiswi. Alhasil Komandan Pleton (Danton) Polisi Syariat atau Wilayatul Hisbah (WH) yang menangkap khabarnya justru dimutasi dan dicopot dari jabatannya oleh Bunda Illiza saat itu. Apakah itu namanya tegas dalam penegakan syariat atau tidak, kita tentu bisa nilai sendiri,”bebernya.
Lagi-lagi, FAB berharap agar Illiza tidak memaksakan kehendaknya menjadi orang nomor satu di Banda Aceh atau di Aceh namun sebagai perempuan hendaklah kembali kepada fitrah sebagaimana diatur didalam Al Qur’an dan hadist.. “Kita tidak benci dengan Bunda Illiza, justru karena kita sayang sehingga kita sarankan Bunda tak lagi memaksakan kehendak jika Bunda juga menyayangi ummat agar ummat tidak terjerumus dalam pembuatan yang dilarang oleh agama sebagaimana penjelasan ulama kita,” harapnya.(Ril/KA)